Hallo Broeder inside

inMagz.id

Inside Magz menyadari bahwa sebuah karya tulis akan lebih indah dipandang mata bila tersaji dalam kemasan desain yang segar. Tampilan yang ‘enak’ serta nyaman di mata, akan mengantar dan mewarnai pandangan pembaca mulai dari awal hingga akhir setiap paragraf.

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 285 pelanggan lain

04/12/2021

Inside Magz

Nyaman di Mata - Asik Dibaca

Anggota Komisi II DPR RI Wahyu Sanjaya saat mengikuti rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI secara virtual. (F. Jaka/Man/DPR RI)

Kebijakan PPPK Selalu jadi Beban Pemda

JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Wahyu Sanjaya menilai kebijakan menyangkut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dibuat pemerintah pusat selalu jadi beban pemerintah daerah (pemda). Pasalnya, kebijakan pengangkatan dilakukan pusat, namun yang bayar gaji dibebankan ke pemda.

Baca juga: 5 Tahap Penghentian Siaran Televisi Analog!

“Yang lucu soal PPPK. Kebijakannya yang buat pusat, yang bayar gajinya kabupaten, kota, dan provinsi. Pasti pemda ngejerit semua. Kewenangan tidak ada, kewajiban timbul. Itu jadi masalah. Kewenangan daerah sudah tidak ada. Apalagi sejak ada UU Omnibus Law,” kata Wahyu saat mengikuti rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI secara virtual yang membahas revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Senin (28/6/2021). 

Baca juga: RUU Otsus Papua Harus Akomodir Hak-hak

Persoalan kebijakan mengangkat PPPK untuk daerah jadi sangat krusial dan dilematik, karena ada tarik menarik kewenangan antara pusat dan daerah. Pada bagian lain, Wahyu juga mempersoalkan tes pengangkatan PPPK di daerah. Para pegawai honorer yang masuk kategori K2 tidak sama kemampuan dan latar pendidikannya. Sementara tes pengangkatannya diberlakukan sama secara nasional.

Baca juga: Demi e-KTP, Puluhan Warga Tidur di Tanah Beratapkan Daun Kelapa

Para honorer di Papua mungkin akan kalah dengan para honorer di Jawa yang punya kemampuan dan latar pendidikan memadai. “Indeks pembangunan manusia setiap kabupaten, kota, dan provinsi itu berbeda. Bagaimana mungkin kita membuat tes yang berlaku nasional dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Contoh, tes penerimaan PPPK untuk saudara-saudara kita di Papua. Itu jadi persoalan,” kata politisi Partai Demokrat itu.

Baca juga: Tumpang Tindih Bansos Akibat DTKS Lama tak Diperbarui

Pada rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal itu, menghadirkan para pakar, praktisi, dan perkumpulan honorer K2 Indonesia untuk membincang banyak isu dan klaster dalam UU ASN. Revisi UU tersebut sudah masuk pembicaraan tingkat I. Komisi II sedang meyerap banyak perspektif untuk merumuskan kembali UU ASN.* 

Lihat sumber:

DPR RI/MH/SF