Evaluasi, Pemerintah Ancam Cabut 2.350 Izin Pertambangan

banner 970x250

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan saat ini tengah mengevaluasi 2.350 izin pertambangan. Jika perusahaan tidak menjalankan kewajiban dengan alasan yang tidak bisa diterima, maka izin usahanya akan dicabut.

Hal tersebut disampaikan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif dalam diskusi daring, Jumat (25/06/2021).

Dia mengatakan, dari 5.600 izin pertambangan yang ada saat ini, Presiden memerintah untuk meninjau kembali sebanyak 1.600 Izin Usaha Pertambangan (IUP), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Kontrak Karya (KK).

“Ternyata bukan 1.600, malah ada 2.300-an yang mendekati 2.350. Semua masalah ini akan dievaluasi. Ini sedang dikerjakan. Mereka yang gak bisa melakukan kegiatan yang tidak bisa diterima, maka perintahnya diujung akan dicabut,” paparnya dalam diskusi bincang tambang yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro akhir pekan lalu.

Usulan pencabutan ini mulanya diusulkan oleh Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah dalam diskusi tersebut, lalu diterima Kementerian ESDM dan akan ditindaklanjuti.

“Ini saya kira usulan yang bagus, ini akan saya bawa,” kata Irwandy.

Sementara itu Merah mengatakan pencabutan izin pertambangan bukanlah suatu kemunduran. Dia meminta agar tidak memaksakan izin pertambangan dilanjutkan jika ada pelanggaran.

“Bahwa mencabut bukan kemunduran, jangan memaksakan izin pertambangan. Jadi mudah-mudahan pak Irwandy bisa mempertimbangkan hal itu, ada pelanggaran dari pulau-pulau kecil,” jelasnya.

Dalam diskusi ini, dia mengatakan ada pelanggaran penambangan di Pulau Sangihe, yakni melanggar UU Pulau Kecil, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau PWP3K.

“Di sekitar Pulau Sangihe juga ada pulau-pulau lainnya di sisi Timur dan Selatan. Apakah kajian pemerintah juga bahas pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan Sangihe?” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, partisipasi masyarakat juga ditinggalkan. Menurutnya, warga mendapat tawaran tanah seharga Rp 5.000 per meter atau hanya Rp 50 juta per hektar.

“Penuh masalah karena tidak melibatkan mereka, padahal banyak sekali aturan gak hanya substansi tapi juga proses dari substansi, warga mendapatkan tawaran tanah Rp 5.000 per meter,” sesalnya.

Mengenai hal ini, Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahyu Nugroho mengatakan, untuk menghindari kekisruhan seperti di tambang Sangihe, maka instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, khususnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Dia berpendapat bahwa pemerintah harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah & Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

“Mengingat 80% wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan, sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya,” ungkapnya.

Kemudian dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, Amdal, dan lainnya. Menurutnya masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya,” tegas Wahyu.*

Keterangan artikel:

Artikel ini telah terbit di CNBC Indonesia dengan judul “Pemerintah Ancam Cabut 2.350 Izin Tambang, Kenapa?”,  penulis: WIA

Red inMagz

banner 970x250