Hallo Broeder inside

inMagz.id

Inside Magz menyadari bahwa sebuah karya tulis akan lebih indah dipandang mata bila tersaji dalam kemasan desain yang segar. Tampilan yang ‘enak’ serta nyaman di mata, akan mengantar dan mewarnai pandangan pembaca mulai dari awal hingga akhir setiap paragraf.

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 285 pelanggan lain

24/09/2021

Inside Magz

Nyaman di Mata - Asik Dibaca

Perbandingan jumlah kunjungan wisatawan dan produksi batu bara pada rentang 2004 dan 2018. (Syafrini dkk, 2021)

Pariwisata Tambang: Perwujudan dari Tambang Berkelanjutan

KUARTAL ketiga di tahun 2021, Indonesia masih berada di tengah-tengah pandemi COVID-19. Sembari industri tambang masih atau telah menyesuaikan diri untuk bertahan dan meningkat di masa pandemi, tidak ada salahnya untuk mulai memikirkan bagaimana keberlanjutan industri ini ketika kondisi normal, hingga tiba suatu masa ketika bijih yang selalu ditambang akan habis, untuk menentukan nasib dari lokasi yang nantinya dirujuk sebagai bekas tambang.

Umumnya pelaku tambang melakukan usaha pascatambang dengan reklamasi, sebagaimana seharusnya sesuai yang tertuang dalam kebijakan. Reklamasi sepatutnya dilakukan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang selaras dengan lingkungan sekitar, sehingga area tersebut dapat digunakan untuk sektor ekonomis seperti pariwisata. Di Indonesia sendiri kita sering melihat di sosial media beberapa foto objek wisata yang sebenarnya merupakan bekas tambang.

Objek wisata bekas situs tambang pun tidak hanya sekedar menawarkan spot yang insta-worthy. Pariwisata pertambangan mampu memberikan efek yang meningkatkan kesejahteraan terhadap penduduk dan lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, bekas tambang mampu dicitrakan sebagai sesuatu yang segar sehingga ia tidak sekedar dianggap sebagai puing-puing pertambangan. Dalam beberapa kasus, pariwisata pertambangan bahkan mampu menawarkan kembali citra baru kepada khalayak berkat kreativitas dan aksi kolaborasi para pemangku kepentingan.

Contoh terbaik ini dapat ditemukan di dalam Indonesia. Seperti apa sejarah dan upaya pariwisata tambang yang ada di Indonesia? Mari kita beralih ke bagian selanjutnya

Salah satu lokasi pariwisata pertambangan Indonesia yang bisa dianggap paling berkembang adalah situs pertambangan batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Situs yang mulai beroperasi dari zaman kolonial Belanda ini telah menyandang status UNESCO World Heritage Site pada tahun 2019. Reputasi kota Sawahlunto sebagai kota pariwisata pertambangan yang sarat akan sejarah merupakan hasil dari upaya transformasi selama kurang dari 15 tahun, yang telah dicanangkan dalam visi kota sejak awal abad ini. Transformasi seperti yang dialami oleh Sawahlunto ini tidak hanya sekedar membangkitkan ekonomi kota, tetapi juga mengurangi resiko kerusakan lingkungan serta melestarikan nilai sejarah & budaya yang diwariskan dari aktivitas pertambangan sejak zaman kolonial (Asoka dkk, 2016).

Meski kesuksesannya, jejak rekam Sawahlunto sendiri tidak selalu mulus. Sejarah kota Sawahlunto dimulai dari penemuan batu bara oleh geologis Belanda, Ir. W.H De Greve pada 1867, dengan estimasi potensi saat itu sebesar 205 juta ton batu bara. Kemudian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai mengoperasikan pertambangan pada tahun 1887 dan mencapai puncak kejayaan pada tahun 1930 dengan produksi mencapai 624,212 ton per tahun (Syafrini dkk, 2021). Hingga pertengahan abad ke 20, Sawahlunto menjadi tambang batu bara terbesar di Asia Tenggara (Erman, 2005). Seiring transfer kekuasaan dari kolonial ke Republik Indonesia, manajemen pun berpindah ke PT Bukit Asam – Ombilin Mining Unit (PTBA-UPO). Kehadiran PTBA-UPO sangat memengaruhi kehidupan masyarakat dalam konteks positif. Perusahaan turut menyokong kebutuhan rumah, listrik, air, asuransi kesehatan, dan transportasi untuk semua penduduk, baik pekerja tambang atau tidak.

Hingga tiba krisis moneter 1998 yang menimpa keras bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu, cadangan batu bara Sawahlunto mulai kehabisan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kehidupan 50,668 penduduk Sawahlunto yang bergantung semata pada eksistensi PTBA-UPO. Kehilangan sumber pendapatan regional sekaligus tulang punggung utama penduduknya menandakan berakhirnya eksistensi Sawahlunto sebagai kota tambang (Syafrini dkk, 2021). Kemunduran kota Sawahlunto mulai terlihat dalam penurunan populasi sebesar 6.46% antara tahun 1995 dan 2002 (BPS Sawahlunto, 2002), kenaikan angka kemiskinan sebesar 10.4% antara 1996 dan 1999 (BAPPEDA Sawahlunto, 2006).

Kekhawatiran ini bukan semata-mata ilusi yang berlebihan. Ketika aktivitas tambang yang melahirkan suatu kota mulai menunjukkan penurunan hingga kehilangan produksi, kota tersebut akan rawan ditinggalkan oleh penduduknya hingga diperparah dengan kerusakan lingkungan (Syafrini dkk, 2011). Hal ini telah ditunjukkan oleh beberapa kota tambang yang sempat berjaya hingga masuk ke kekacauan ketika tambang berhenti beroperasi, seperti Kolmanskop, Namibia dan Gunkanjima, Jepang. Akhir cerita dari kota tersebut, setidaknya hingga sekarang, adalah statusnya menjadi kota mati.

Di samping dari mimpi buruk tersebut, beberapa kota tambang menentukan nasib yang berbeda 180 derajat. Kota pertambangan seperti Cusco, Peru dan Tombstone, Arizona mampu bangkit dan bergerak untuk mengembalikan kejayaan tambang dengan mengubah gerak pengembangan kota yang berbasis pariwisata (Steel, 2013). Arah gerak kota tambang tersebut menunjukkan bahwa manajemen lokasi tambang sebagai atraksi pariwisata selaras dengan pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi, lingkungan, dan nilai budaya-sejarah (Irandu dan Shah, 2016), yang tentunya memasok harapan baru untuk keberlangsungan hidup penduduknya.

Dihadapi pilihan antara menjadi kota mati atau kota wisata tambang dengan identitas baru, para pemangku kepentingan di Sawahlunto tentu menginginkan nasib kotanya seperti yang kedua. Sehingga dimulailah inisiatif untuk mentransformasi Sawahlunto menjadi kota pariwisata tambang yang berbudaya. Insiatif tersebut dimulai dengan mengubah visi kota menjadi “Sawahlunto menjadi Kota Wisata Tambang Berbudaya 2020” yang dirumuskan atas komitmen untuk menyelamatkan lingkungan, sejarah kota, serta identitas multietnis penduduknya.

Visi tersebut diwujudkan dalam berbagai strategi dan program yang dituang dalam kebijakan, hingga akhirnya mampu menyelamatkan Sawahlunto dari status kota mati, serta melahirkan identitas baru yang unik di Indonesia. Hal ini terlihat dari sektor pariwisata yang menyumbang pendapatan kota sebesar 37.82% pada 2018, serta peningkatan kunjungan wisatawan dari 14,425 pada 2004 menjadi 733,721 pada 2018 dalam menyeimbangkan penurunan produksi batu bara (Syafrini dkk, 2021).

Kota ini pun tidak hanya sekedar menyulap instan bekas tambang menjadi tempat wisata, tetapi direvitalisasi dengan kehati-hatian dan berjangka panjang. Siklus hidup kota Sawahlunto sebagai kota tambang tidak berubah secara alami, tetapi didorong oleh kreativitas masyarakat maupun komunitas setempat menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menggerakkan transformasi (Syafrini dkk, 2021). Hal ini dilatarbelakangi fakta bahwa pengembangan kota tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat yang memiliki nilai jual dalam menggebrak pertumbuhan ekonomi (Cole, 2007).

Pengembangan kota wisata tambang berbasis sejarah mampu memancarkan energi baru dari suatu kota yang menjadi basis transformasi untuk masa depan. Tetapi memiliki situs tambang dengan nilai bersejarah saja belum menjamin kesuksesan. Dukungan dan partisipasi masyarakat, yang diwujudkan dalam penyaluran kreativitas dan inovasi, akan memainkan peran besar kesuksesan kota.

Selain itu, pengembangan wisata tambang bersejarah di Sawahlunto mulai dilakukan dengan serius sebelum kota tersebut benar-benar jatuh menjadi kota mati. Upaya yang dituangkan dalam kebijakan dan kolaborasi ini mampu menyelamatkan denyut kota Sawahlunto. Hal ini terbukti dari peningkatan kunjungan, peningkatan populasi, lapangan kerja baru, hingga pengurangan angka kemiskinan (Syafrini dkk, 2021). Hal tersebut membuktikan bahwa pengembangan wisata sejarah di bekas tambang menjadi salah satu solusi yang potensial dalam menyambung hidup suatu kota.

Keterlibatan masyarakat serta kerjasama semua pemangku kepentingan dalam mengembangkan pariwisata dan melestarikan cagar budaya adalah faktor kunci dalam menggerakkan transformasi Sawahlunto yang sukses. Dengan memanfaatkan potensi dan identitas yang tidak hanya dalam bentuk bangunan sejarah atau bukti pertambangan, tetapi juga dari dinamika dan heterogenitas masyarakat yang dibuktikan dari aspek acara/festival, kuliner, dan industri kreatif. Masyarakat diberdayakan dengan berbagai pelatihan dari pemerintah, dan sebaliknya pemerintah mendapat respon positif dan aktif sehingga menciptakan symbiosis mutualisme.

Sawahlunto Bisa Bertahan dengan Pariwisata, Bagaimana dengan yang Lain?

Cerita dan kesuksesan Sawahlunto selayaknya dapat dijadikan contoh dan inspirasi untuk situs-situs pertambangan atau kota tambang yang masih beroperasi maupun yang akan berhenti supaya mampu mewujudkan tambang berkelanjutan dengan mensejahterahkan lingkungan dan masyarakat sekitar, bahkan ketika sudah tidak ada komoditas yang dapat diambil secara ekonomis.

Meskipun kota tambang Sawahlunto memiliki identitas yang cukup unik mengingat sejarahnya, hal ini menunjukkan bahwa setidaknya kota atau lokasi tambang lain di Indonesia juga memiliki identitas nya sendiri untuk dikembangkan sebagai suatu potensi ekonomis. Terdapat beberapa lokasi tambang di Indonesia yang memiliki identitas tertentu, seperti misalkan pertambangan Timah di Pulau Bangka, yang sarat akan sejarah dan turut membentuk budaya masyarakatnya saat ini. Situs-situs pertambangan juga umumnya melahirkan suatu landskap unik yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan edukasi dan geowisata.

Selain identitas tambang, hubungan antara tambang dan masyarakat sekitar pun sangatlah penting. Sawahlunto menunjukkan bahwa keberadaan suatu industri pertambangan mendatangkan perputaran ekonomi tidak hanya dari produksi batu bara/mineral atau penciptaan lapangan kerja, tetapi juga mampu menaikkan taraf ekonomi masyarakat sekitar hingga melahirkan identitas baru yang diberdayakan dalam pariwisata.

Berangkat dari cerita Sawahlunto, perusahaan-perusahaan tambang diharapkan mampu mempererat hubungan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sembari menjaga kelestarian lingkungan. Dengan upaya tersebut, suatu situs tambang tidak hanya semata-mata dipegang oleh perusahaan, tetapi masyarakat juga merasa menjadi bagian andil dari kehidupan pertambangan di area mereka. Sehingga setelah lokasi pertambangan berhenti beroperasi pun, masyarakat telah memiliki ikatan dan identitas dengan pertambangan, yang dapat dimanfaatkan dengan kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan pariwisata.

Di atas itu semua, bekas lokasi tambang hakikatnya menyimpan cerita mengenai fisik dan aktivitas masa lampau. Bukti-bukti seperti susunan formasi batuan, struktur batuan, serta hubungan antara pertambangan dan lingkungan dapat menjadi bekal untuk pengembangan geowisata. Cerita kegiatan tambang ketika masih beroperasi pun dapat dikembangkan untuk edukasi, bahwa baik cerita kejayaan ataupun cerita kelam menjadi pengingat untuk para pengunjung. Dari identitas maupun cerita yang tersimpan, suatu lokasi tambang yang berpotensi sebagai objek wisata mampu menawarkan lebih dari sekedar spot fotogenik untuk Instagram.*

Penulis dan sumber:

Dzaky Irfansyah/Dunia Tambang