Menyusuri Lembah Napu, Secuil Surga di Tanah Poso


writer: Eva Syilva

KALAU saja saya tertidur dalam perjalanan dan baru dibangunkan ketika tiba di Lembah Napu, mungkin saya tak akan percaya jika tempat itu berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Bentang alam Lembah Napu begitu indah. Barangkali Tuhan sengaja menitipkan secuil surga di tanah Poso yang dulu dikenal karena konflik yang berkepanjangan.

Tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan Lembah Napu adalah salah satu tempat dengan pemandangan alam terbaik di Pulau Sulawesi. Sepanjang perjalanan, indra penglihatan disuguhi luasnya padang sabana dan bukit hijau dengan pohon pinus yang berdiri kokoh ditemani berbagai varietas lumut dan pakis. Di tempat itu kita seperti berada dalam sebuah mangkuk berdinding pegunungan.

Baca juga karya Eva Syilva berjudul: Jumat Siang di Tepi Muara

Lembah Napu terletak di Kabupaten Poso dengan jarak sekitar 140 kilometer dari Kota Poso yang dapat ditempuh selama kurang lebih 5 jam perjalanan darat. Waktu itu saya dan teman-teman Sanjayo datang dari arah yang berlawanan dengan Kota Poso. Kami berangkat dari Parigi, Kabupaten Parigi Moutong.

Setelah singgah makan dan beristirahat sejenak di Poso Pesisir, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Motor yang membawa saya berbelok kanan ketika tiba di tugu pertigaan Desa Ratolene.

Selain Desa Ratolene, kami melewati beberapa desa di antaranya Desa Betalemba, Patiwunga, Tangkura, Dewua, Sangginora kemudian puluhan kilo meter melewati jalan berkelok tanpa rumah barulah tiba di Hae. Dalam perjalanan tubuh kami yang terbiasa dengan panasnya wilayah pesisir Teluk Tomini dimanjakan oleh sejuknya udara hutan dan pegunungan. Mata kami pun ikut berelaksasi ketika melihat berbagai jenis pakis dan anggrek yang tumbuh liar di terpi jalan.

Karya lain Eva Syilva: Mantra Merayu Jamur

Ketika tiba di Hae, kami memutuskan singgah untuk berteduh sebab hujan turun semakin deras. Hae merupakan gerbang menuju Lembah Napu. Di sana kami menemukan beberapa warung makan sederhana. Bagi yang beragama islam, di tempat ini juga terdapat musala. Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan.

Selalu ada usaha keras untuk mencapai hasil yang maksimal. Meninggalkan Hae, kami disambut oleh tanjakan tinggi yang memaksa motor kesayangan saya untuk bekerja ekstra. Setelah berhasil menaklukkan tingginya tempat yang disebut Pendakian Petondongia itu, tibalah kami di Lembah Napu.

Sabana menjadi pemandangan pertama yang menyambut kedatangan kami. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah warna hijau khas wilayah tropis. Tempat itu bagaikan tanah berundak yang dipasangi permadani hijau, ditambah ornamen pohon pinus yang menari menikmati kencangnya embusan angin. Udara dingin membuat perut kami lapar. Ketika tiba di permukaan tanah yang cukup rata, kami bergegas mendirikan tenda lalu merebus air untuk memasak mi instan dan menyeduh kopi.

Artikel Karangan Eva Syilva sebelumnya: Kenangan Tentang ‘Orang Dalam’ Pas Nyari Kerjaan

Tuntas mengurus masalah perut, kami pun melanjutkan perjalanan. Spot berikutnya yang kami singgahi ialah Jembatan Parambua, yang di bawahnya mengalir Sungai Coca-Cola. Disebut demikian karena warna airnya sama persis dengan warna minuman Coca-Cola. Meski berwarna, air ini aman dikonsumsi. Tentunya akan lebih baik jika dimasak terlebih dahulu. Tak banyak aktifitas yang dapat dilakukan di lokasi Sungai Coca-Cola. Kami hanya turun dari motor untuk meregangkan badan yang mulai lelah dan tentunya tak lupa berswafoto.

Kurang lebih setengah jam setelah meninggalkan Jembatan Parambua, tibalah kami di jalan terjal dan berbatu yang pada sisi kiri-kanannya tampak barisan pohon pinus. Lagi-lagi dibutuhkan keahlian berkendara yang baik untuk melewati jalan ini. Sesudahnya, sampailah kami di Objek Wisata Hutan Pinus Lembah Napu. Kembali kami mendirikan tenda, merebus air untuk ngopi, dan memasang hammock. Hammock-an setelah menempuh perjalanan panjang merupakan salah satu bentuk nikmat Allah yang tak dapat didustakan.

Perjalanan berjam-jam menggunakan sepeda motor membuat kami harus pandai mengatur waktu istirahat dan mengisi perut agar tak mudah drop. Terlebih di tempat yang dingin seperti Lembah Napu. Kabar baiknya, Objek Wisata Hutan Pinus Lembah Napu ini jaraknya sudah dekat dengan pemukiman penduduk tempat kami akan menginap.

Cukup lama kami menghabiskan waktu untuk bersantai hingga tertidur di hutan pinus. Ketika matahari bersiap terbenam, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kerabat di Desa Maholo. Dalam perjalanan kami melewati perkebunan kopi, padang ilalang, cagar budaya, dan lagi-lagi sabana yang luas sepanjang mata memandang. Beberapa teman saya melihat rombongan kerbau yang tengah merumput. Sayang sekali saya tak melihatnya. Mungkin waktu itu saya terlalu sibuk mengagumi bentang alam lembah Napu yang teramat indah. Yang saking indahnya, kami sampai kebingungan memilih tempat terbaik untuk berfoto. Semua sudut seperti dirancang untuk memanjakan mata. Barangkali Tuhan sengaja mengambil secuil alam surga, meletakkannya di Poso, lalu manusia menamainya Lembah Napu.**

Tetap nanti dan selalu baca ya, artikel-artikel menarik serta inspiratif dari Eva Syilva. Salam Broeder .

#Jadilah_Inspiratif_Tetaplah_Cerdas

akses Medsos Eva Syilva di bawah ini

Baca Juga