Jumat Siang di Tepi Muara


writer: Eva Syilva

TERIK matahari jam dua belas siang tak mampu melelehkan kerasnya tekad Nuna. Beralaskan sandal Swallow biru nomor 81/2, perempuan berumur 35 tahun itu melangkah menuju pantai. Diusirnya segala keraguan. Apa pun akan dilakukannya demi kestabilan biduk rumah tangga.

Di pantai sana, seseorang yang diyakini dapat membantu mengutuhkan kembali keretakan keluarga tengah menunggu. Nenek Haya, perempuan tua yang lupa akan umurnya sendiri itu duduk di atas batang kelapa yang roboh dihantam abrasi. Sebatang Surya terselip di bibirnya.

Bunyi ngiiiiiing terdengar dari masjid yang jaraknya tak jauh dari pantai. Bunyi itu selalu ada setiap kali pengeras suara dinyalakan. Tak ada yang tertarik mencari tahu apa penyebabnya atau berinisiatif memperbaiki demi kenyamanan indra pendengaran. Dibiarkan saja. Toh sudah terbiasa dan tidak mengganggu siklus pernapasan maupun ekonomi umat. Namun bagi Nuna yang bergegas memenuhi janji temunya sebelum salat Jumat dilaksanakan, dengingan pertanda sebentar lagi azan akan dikumandangkan itu justru memberi keresahan hingga memaksanya mempercepat langkah.

Gemeresik daun kering yang terinjak sandal Nuna membuat beberapa ekor kadal yang tengah bergosip ria di batang pohon kelapa yang dimerek dengan inisial nama pemiliknya memutuskan untuk bubar jalan. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi dengan tanda BD pada setiap batangnya itu membuat Nuna tak bisa untuk tidak mengingat Bidu, lelaki yang menjadi alasannya ke pantai di siang bolong. Sang suami yang dulu kerap memanggilnya Bunda.

Sudah tiga bulan Bidu uring-uringan jika terlalu lama di rumah. Memandang Nuna lelaki itu bagaikan terkena sivulumata. Kopi buatan Nuna tak lagi dianggapnya nikmat. Makanan pun jauh dari kata lezat. Terlebih wajah Nuna. Di mata lelaki itu Nuna adalah isteri yang berisik dan menjengkelkan. Seperti unggahan di media sosial yang memuakkan jika dilihat namun justru paling sering muncul. Kabar yang beredar di dego-dego mengatakan bahwa lelaki berwajah standar itu kini punya wanita idaman lain dan tinggal menunggu waktu Bidu akan melayangkan gugatan cerai pada Nuna.

“Astaga, sudah lama Nene di sini? Maaf terlambat saya datang. Masih memasak saya tadi.”

Sesampainya di pantai, terkaget Nuna melihat Nenek Haya sudah tiba lebih dulu. Terbesit rasa cemas jangan sampai keterlambatannya berpengaruh pada hasil ritual yang akan mereka lakukan. Besar harapan Nuna usahanya kali ini berhasil. Toh sudah banyak kabar tentang kesaktian Nenek Haya. Jangankan suami istri yang tengah renggang, yang sudah cerai pun bisa rujuk kembali jika sando itu turun tangan.

“Hemmh, padahal bisa juga nanti sore.”

“Lebih cepat lebih bagus Ne.”

“Bawa baju ganti kau?” tanya Nenek Haya. Heran ia melihat Nuna datang dengan tangan kosong.

“Astaga saya lupa, bagaimana tadi buru-buru ke sini.”

Semakin bertambah kecemasan di hati Nuna. Dua kesalahan dilakukannya sekaligus dan tampaknya akan bertambah menjadi tiga sebab setelah meraba kantong celananya, barulah Nuna menyadari kalau ia juga lupa mambawa sebungkus Surya 16 dan selembar si biru bergambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang akan dipindahtangankan ke Nenek Haya di akhir sesi pertemuan mereka nanti. Meski banyak yang bilang kalau Nenek Haya kerap menolak uang dan hanya mengambil rokok.

Baca juga karangan Eva Syilva sebelumnya, judulMantra Merayu Jamur

“Hemmh. Berarti basah-basah kau pulang itu. Nanti kalau orang tanya dari mana, bilang saja dari mandi laut supaya sehat. Jangan cerita soal saya. Saya ini sebenarnya mau istirahat dulu urus yang begini-begini.” celetuk Nenek Haya diikuti anggukan Nuna.

Ombak bergulung-gulung lalu memecah di pesisir Teluk Tomini. Nuna dan Nenek Haya berjalan beriringan menuju muara yang berjarak sekitar 500 meter dari titik pertemuan mereka. Sekali lagi Nuna teguhkan hatinya bahwa inilah satu-satunya jalan terbaik. Demi anak-anak.

So berapa anakmu?”

Sambil memperbaiki ciput berwarna ungu bunga terong yang tampaknya terlalu sempit untuk ukuran kepalanya, Nenek Haya mencomot topik sekenanya. Sudah biasa ia bertemu klien yang katanya telah yakin namun mata dan gerak-geriknya tak mampu menutupi keragu-raguan. Persis seperti Nuna. Pengalaman mengajarkan Nenek Haya bahwa manusia peragu harus sering diajak bicara, diyakinkan agar lebih rileks dan teguh hatinya. Nuna yang ditanya justru kaget bukan kepalang. Ia mengira Nenek Haya mampu membaca pikirannya yang baru saja mengingat ketiga buah hatinya.

“Baru tiga Nene.”

Gugup Nuna hingga jawaban yang semestinya sudah tiga justru dibilangnya baru tiga.

“Baru tiga? Apa kau mo tambah lagi?”

Tebelalak Nenek Haya mendengar jawaban Nuna. Bisa-bisanya perempuan itu memikirkan tambah anak dalam situasi seperti ini.

“Maksudnya sudah tiga, Nene.” kata Nuna membenarkan.

“Masih Bidu kasi ongkos kamu?” tanya Nenek Haya lagi.

“Saya so tidak. Anak-anak saja biasa dia kasi uang kalau dia pulang.”

“Kapan terakhir dia pulang?”

“Tiga minggu lalu.”

“Kau tau di mana dia sekarang?”

“Tidak. Tapi tetanggaku bilang pernah dia liat Bidu di Lorong Cinta.”

“Kenapa kau tidak susul ke sana?”

“Takut saya Nene. Bidu bapukul kalau disusul begitu.”

“Tinggalkan saja laki-laki ja’a sipa itu. Nanti saya carikan kau yang lebih bagus.”

“Jangan Nene. Kasian anak-anakku.”

Nuna lagi-lagi menjawab dengan kalimat pamungkas yang dilontarkannya pada siapa saja yang menyarankan untuk meninggalkan Bidu. Dalam kisah seperti ini anak-anak memang kerap dijadikan alasan untuk bertahan. Jarang ada yang mau mengakui kalau dialah yang masih butuh, masih mau, dan masih cinta. Begitu pun Nuna. Perempuan itu terlalu malu untuk jujur pada diri sendiri bahwa dibandingkan anak-anaknya, sebenarnya dialah yang paling takut kehilangan Bidu. Jika jujur pada diri sendiri saja sulit, bagaimana bisa mudah jujur pada orang lain?

Baca juga karangan Eva Syilva lainnya, judulKenangan Tentang ‘Orang Dalam’ Pas Nyari Kerjaan

Merasa terganggu dengan kehadiran Nuna dan Nenek Haya, segerombolan kepiting yang asik berlarian di dekat muara bergegas masuk ke sarangnya. Diam-diam mereka mengintip apa yang akan dilakukan oleh dua perempuan itu. Kedatangan tamu perempuan di hari Jumat siang bukanlah hal baru bagi kepiting yang bermukim di tepi muara itu. Kabar tentang keakraban Nenek Haya dan ‘penghuni’ muara yang selalu sukses berkolaborasi membawa pulang suami yang telah pergi membuat tempat itu kerap disambangi istri-istri yang risau hati.

Angin pantai berembus kencang memainkan rambut keriting Nuna yang sulit diatur. Di belakangnya, tangan Nenek Haya cekatan memungut batok kelapa, menciduk air dari muara, lalu mengguyurnya ke kepala Nuna setelah sebelumnya dengan khidmat membaca gane-gane sambil memejamkan mata.

Dingin menjalar ke setiap inci tubuh Nuna. Meski telah tiba di tahap ini, keraguan masih juga tak dapat lepas dari dirinya. Diingatnya lagi nasehat orang-orang yang bilang bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia. Ritual seperti ini adalah perbuatan syirik. Dosa. Adapun mereka yang suaminya kembali setelah nijunu oleh Nenek Haya, itu hanyalah kebetulan semata. Hanya Yang Maha Kuasa satu-satunya kekuatan yang dapat mengubah hati makhluknya. Jika Bidu ingin, dia akan kembali dengan sendirinya.

Di bawah guyuran air, perempuan yang tengah putus asa itu memeluk lututnya erat-erat seakan lutut itu adalah Bidu yang tak ingin ia lepaskan. Air muara bercampur dengan air matanya.

*

Dua minggu setelah hari Jumat yang dingin itu Bidu datang dengan perangainya yang telah lama hilang.

“Bunda, kopi dulu.”

Bagai mimpi rasanya Nuna melihat Bidu yang tersenyum dan kembali memanggilnya Bunda. Sambil mengaduk kopi Nuna akhirnya percaya kalau kesaktian Nenek Haya bukanlah isapan jempol belaka. Kini sang suami telah kembali.

Bidu tak bisa berhenti memperlihatkan raut wajah bahagianya. Sambil bersiul-siul menunggu kopi, diingatnya lagi ide brilian yang didengarnya dari sahabatnya, Adu.

“Begini saja Bro. Istrimu kan te mau cerai. Jadiiii, daripada susah-susah urus surat cerai, kasian juga Nuna dia masih suka kau. Lebe bae diam-diam kau kawin dua saja. Tapi ingat e, harus adil.”

Tertawa Adu, tersenyum Bidu. Bahagia Nuna mengingat suaminya yang tampak telah kembali seperti sediakala.

*

Daftar Istilah:

Dego-dego    : Tempat untuk duduk-duduk bersantai, biasanya terdapat di depan rumah. Terbuat dari bambu atau kayu.

Gane-gane    : Mantra (Bahasa suku Kaili)

Ja’a sipa       : Berperangai buruk (Bahasa suku Kaili)

Nijunu          : Dimandikan (Bahasa suku Kaili)

Sando          : Dukun (Bahasa suku Kaili)

Sivulumata    : Guna-guna yang membuat orang menjadi benci. (Bahasa suku Kaili)


Cerita ini hanyalah fiksi, penulis dan redaksi menegaskan jika ada kemiripan nama, tempat dan kejadian seperti dalam cerita ini, itu dapat dipastikan hanya kebetulan belaka. Terkait penggunaan istilah atau bentuk-bentuk kepercayaan, redaksi juga menegaskan bahwa tidak ada maksud untuk menyinggung kelompok tertentu, sekali lagi cerita ini hanyalah sebuah fiksi.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga